Tuesday, 10 November 2015

Untung atau Rugi?



Ki Sura adalah seorang saudagar kaya di desa Mojo. Ia memiliki kebun apel yang luas. Banyak warga desa yang bekerja pada Ki Sura. Sebagian ada yang merawat kebun, sebagian lagi membantu Ki Sura berniaga, menjual apel-apelnya ke berbagai daerah. Walau sudah kaya raya, namun Ki Sura terkenal sangat kikir. Dia enggan memberi pada orang orang yang memerlukan bantuannya, alasanny adalah "takut rugi".

Suatu hari tibalah masa panen. Apel-apel segar nan ranum dipetik warga, dikumpulkan dalam keranjang dan diangkut menuju rumah Ki Sura. Di rumahnya, Ki Sura telah menunggu. Ia bertanya pada orang kepercayaannya apakah tak ada warga yang mencuri apelnya. Dia selalu takut apel-apelnya berkurang dan mengurangi keuntungannya.

Setelah semua apel selesai dipetik, Ki Sura menyuruh para pekerjanya untuk memasukkan buah manis itu ke dalam kotak kayu. Namun tiba-tiba Ki Sura berteriak pada salah seorang pekerjanya "hey, apa yang kamu lakukan?” Tanya Ki sura pada pekerja yang membuang beberapa buah apel. "Maaf Ki, ada sedikit lubang di buah apel yang saya buang ini. Saya yakin ini ulat Ki, jika Ki Sura tak percaya, silahkan diperiksa" jawab pekerja itu dengan sopan.

"Jika kau lakukan itu maka aku akan rugi. Apel itu belum busuk. Masukkan saja semuanya" ujar Ki Sura dengan tegas. Semua pekerja melakukan apa yang diperintahkan oleh pak Sura. Keesokan harinya, berangkatlah Ki sura beserta beberapa pekerjanya untuk menjual apel-apelnya. Mereka mengendarai pedati. Untuk sampai ke tempat tujuan mereka harus melakukan perjalanan berhari hari.

Selang berberapa hari, sampailah Ki Sura ke desa yang dituju. Ia telah membayangkan untung besar pasti didapatnya hari ini. Semua kotak kayu berisi buah apel telah diturunkan. Ki Sura menawarkan apelnya pada beberapa orang penjual buah yang ada di pasar itu. Mereka telah sepakat tentang harganya. Namun betapa terkejutnya mereka setelah membuka kotak kotak apel itu.

Yang mereka lihat adalah tumpukan apel apel yang busuk. Akhirnya para pedagang mengurungkan niat mereka untuk membeli apel-apel itu. Ki Sura sangat sedih dan menyesal. Pupus sudah impiannya untuk mendapat laba besar. Yang ia dapatkan adalah kerugian yang tak terhitung jumlahnya.


"Andai apel yang berlubang karena ulat itu aku buang, niscaya tak akan begini kejadiannya" keluh Ki Sura penuh penyesalan.

Monday, 9 November 2015

Sarang Laba-laba




Dito baru pulang sekolah. Peluhnya mengucur deras. Maklumlah dia harus menempuh jarak yang lumayan jauh, itupun harus berjalan kaki. Sepatunya yang mulai menipis dan jahitannya yang terbuka di sana sini, menjadi saksi perjuangan Dito untuk pulang pergi ke sekolah tiap harinya.

Dito adalah anak yatim, ayahnya meninggal saat ia berusia 2 tahun. Ia hanya tinggal dengan ibunya yang bekerja serabutan. Kadang Dito merasa sangat lelah dan putus asa. Adakalanya ia ingin berhenti saja sekolah. Dia ingin membantu ibu saja. Selain lelah dengan keadaannya Dito merasa mulai malu saat teman-teman memperhatikan dirinya. Ia merasa tak sepadan dengan mereka semua. Keinginan tuk berhenti sekolah pernah ia utarakan pada ibunya, namun dengan tegas ibunya menolak.

"Anakku, engkau harusnya bersyukur masih bisa sekolah walau keadaan kita seperti ini, punya badan yang sehat, engkau juga anak yang pintar, kenapa harus malu dan putus asa?" Ujar Ibu meyakinkannya. Dito hanya terdiam. Dia tau kata kata ibunya benar, namun hatinya belum bisa menerima sepenuhnya.

Ibu lihat keraguan di mata Dito. "Baiklah nak ibu akan ijinkan kau berhenti sekolah tapi setelah tugas yang ibu berikan padamu engkau selesaikan..." ucap ibu sambil menatap Dito dalam dalam. "Tugas apa bu?" Tanya Dito penuh rasa ingin tahu.

"selama 2 minggu ini, jika kau lihat laba-laba membuat sarang di rumah kita, hancurkan jarring-jaring itu tanpa kau lukai laba-labanya" ujar ibu kemudian. " Hanya itukah Bu? Tanya dito kemastikan. "Ya..." jawab Ibu sambil tersenyum.

Sejak saat itu, bila pulang sekolah Dito akan mencari sarang laba-laba di sekitar rumah. Sesuai pesan ibu, dito hanya merusak jalanya tapi tak melukai laba-labanya. Tiap hari ada saja sarang laba-laba yang Dito hancurkan. Selang dua minggu ibu Dito bertanya, "apakah kau selalu merusak dan membuang sarang laba laba di rumah kita?" "Iya bu..." jawab Dito.
"Apakah kau tetap ingin berhenti sekolah" tanya Ibu lagi. "maksud ibu....? Tanya Dito menggantung. "nak setelah kau bersihkan dan kau hancurkan jala-jala sarang laba-laba itu setiap hari, apakah dia berhenti membuat sarang?" tanya ibu kemudian. "Tidak bu..." jawab Dito.

"Harusnya kita bisa belajar dari laba laba. Dia memintal sarangnya satu-satu dengan sabar, hingga terbentuklah sarang yang nyaman baginya. Namun bila ada yang merusak sarang itu, dia akan membuatnya lagi dan lagi, terkecuali dia mati. Laba-laba tak pernah berhenti berusaha, walau gagal dan gagal lagi. Dia hanya akan berhenti membuat sarangnya saat dia mati. Apakah kau lebih lemah dari laba laba nak? Hingga sedikit saja ketidaknyamanan menimpamu kau merasa putus asa dab berhenti berusaha" jelas Ibu pada Dito sepenuh hati.


"Ya bu kini aku mengerti" jawab dito dengan mata penuh binar semangat. Dito meyakinkan dirinya untuk tak menyerah bagai laba-laba itu. Walau gagal berulang kali, walau letih dan sakit tak terperi.